Minggu, 20 Januari 2013

negara Dalam Pewayangan

negara Dalam Pewayangan


Kalau kita perhatikan cerita wayang, maka akan timbul berbagai pertanyaan : bagaimana mungkin seorang anak kusir (Suryatmaja) dijadikan raja oleh seorang pangeran (Duryudana) ? Bagaimana bisa mendirikan negara dengan hanya membangun istana di hutan dandaka ? mengapa raja Salya, Baladewa, Karna selalu muncul di istana Hastina ? Atau mengapa Kresna selalu muncul di istana Indraprasta (Amarta) ? Kapan mereka mengurus negaranya ?
Pernah pula seorang teman bertanya : apakah negara-negara dalam pewayangan itu merger setelah peristiwa Baratayuda ? Apakah letak negara-negara itu berdekatan atau bersebelahan ?
Untuk menjawab hal-hal seperti ini, kita mesti meninggalkan cara pandang tentang ‘negara’ seperti pada jaman sekarang, di mana suatu negara memiliki wilayah tertentu, rakyat tertentu dengan kedaulatan dalam batas wilayahnya.
Konsep negara dalam wayang tentu berbeda. Dalam wayang tampaknya yang dimaksud negara lebih merujuk pada ‘negara-kota’ seperti yang juga tampak pada konsep negara Romawi kuno. Artinya, seorang raja berkuasa penuh dalam batas kota yang meliputi istana dan sekitarnya. Hutan, gunung, sungai, laut dsb. yang ada di luar negara-kota tersebut adalah wilayah tidak bertuan. Siapa saja bisa memanfaatkannya.
Ketika Pandawa mulai beranjak dewasa, dikhawatirkan akan mulai menuntut haknya atas negara Hastina, maka Dhestarastra (raja Hastina yang buta) menghadiahkan hutan Dandaka untuk dijadikan negara baru untuk mereka. Maka Pandawa membangun hutan itu menjadi negara Amarta atau Indraprasta.
Suatu negara dalam pewayangan biasanya dipimpin oleh seorang raja (dalam wayang Jawa disebut Ratu) atau raja-putri. Istana raja ini disebut ‘ke-ratu-an’ alias KRATON.
[ catatan : Istilah Ratu dalam wayang Jawa berlaku untuk laki-laki dan perempuan, berbeda dengan Ratu dalam bahasa Indonesia (yang hanya berlaku untuk perempuan yang memimpin negara). Jadi semestinya Ratu bukan sekedar istri Raja, karena istri Raja - disebut Permaisuri - tidak memerintah, sedang Ratu memerintah ]
Gelar Raja dalam pewayangan bermacam-macam : Prabu, Adipati, Narpati, dsb. Adapula gelar Prabu-Anom (Raja-Muda), misalnya Prabu Anom Gatutkaca, yang memimpin negara Pringgandani.
Seorang raja biasanya memiliki beberapa saudara, yang disebut Satria. Mereka ini biasanya menjadi pembantu raja dalam mengelola negara, terutama jika harus menghadapi musuh yang datang menyerang. Para satria ini memiliki tempat tinggal yang disebut ‘ka-satria-an’ alias KASATRIAN. Masing-masing kasatrian ini memiliki nama yang berbeda-beda : Kasatrian Jodipati (Bhima), Madukara (Arjuna), Plangkawati (Angkawijaya)
Kalau kita perhatikan cerita wayang, maka akan timbul berbagai pertanyaan : bagaimana mungkin seorang anak kusir (Suryatmaja) dijadikan raja oleh seorang pangeran (Duryudana) ? Bagaimana bisa mendirikan negara dengan hanya membangun istana di hutan dandaka ? mengapa raja Salya, Baladewa, Karna selalu muncul di istana Hastina ? Atau mengapa Kresna selalu muncul di istana Indraprasta (Amarta) ? Kapan mereka mengurus negaranya ?
Pernah pula seorang teman bertanya : apakah negara-negara dalam pewayangan itu merger setelah peristiwa Baratayuda ? Apakah letak negara-negara itu berdekatan atau bersebelahan ?
Untuk menjawab hal-hal seperti ini, kita mesti meninggalkan cara pandang tentang ‘negara’ seperti pada jaman sekarang, di mana suatu negara memiliki wilayah tertentu, rakyat tertentu dengan kedaulatan dalam batas wilayahnya.
Konsep negara dalam wayang tentu berbeda. Dalam wayang tampaknya yang dimaksud negara lebih merujuk pada ‘negara-kota’ seperti yang juga tampak pada konsep negara Romawi kuno. Artinya, seorang raja berkuasa penuh dalam batas kota yang meliputi istana dan sekitarnya. Hutan, gunung, sungai, laut dsb. yang ada di luar negara-kota tersebut adalah wilayah tidak bertuan. Siapa saja bisa memanfaatkannya.
Ketika Pandawa mulai beranjak dewasa, dikhawatirkan akan mulai menuntut haknya atas negara Hastina, maka Dhestarastra (raja Hastina yang buta) menghadiahkan hutan Dandaka untuk dijadikan negara baru untuk mereka. Maka Pandawa membangun hutan itu menjadi negara Amarta atau Indraprasta.
[ Catatan : Bandingkan dengan Sultan Hadiwijaya (kerajaan Pajang di Jawa) yang memberikan hutan Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan dan putranya Sutawijaya, yang kemudian dijadikan negara Mataram. Sutawijaya kemudian bergelar Panembahan Senapati. Panembahan = pan-sembah-an, orang yang layak disembah, alias raja. Kisah ini bukan wayang, tetapi realitas sejarah. Kemudian Mataram berkembang lebih besar dari Pajang ]
Suatu negara dalam pewayangan biasanya dipimpin oleh seorang raja (dalam wayang Jawa disebut Ratu) atau raja-putri. Istana raja ini disebut ‘ke-ratu-an’ alias KRATON.
[ catatan : Istilah Ratu dalam wayang Jawa berlaku untuk laki-laki dan perempuan, berbeda dengan Ratu dalam bahasa Indonesia (yang hanya berlaku untuk perempuan yang memimpin negara). Jadi semestinya Ratu bukan sekedar istri Raja, karena istri Raja - disebut Permaisuri - tidak memerintah, sedang Ratu memerintah ]
Gelar Raja dalam pewayangan bermacam-macam : Prabu, Adipati, Narpati, dsb. Adapula gelar Prabu-Anom (Raja-Muda), misalnya Prabu Anom Gatutkaca, yang memimpin negara Pringgandani.
Seorang raja biasanya memiliki beberapa saudara, yang disebut Satria. Mereka ini biasanya menjadi pembantu raja dalam mengelola negara, terutama jika harus menghadapi musuh yang datang menyerang. Para satria ini memiliki tempat tinggal yang disebut ‘ka-satria-an’ alias KASATRIAN. Masing-masing kasatrian ini memiliki nama yang berbeda-beda : Kasatrian Jodipati (Bhima), Madukara (Arjuna), Plangkawati (Abimanyu atau Angkawijaya), Banjarjunut (Dursasana), dll.
Seorang raja bisa saja menaklukkan negara lain, sehingga kekuasaannya diakui oleh negara lain. Maka sering kita dengar kerajaan yang besar (Hastina, Ayodya, Alengka, Amarta) memiliki jajahan dimana-mana sampai beratus-ratus negara. Sistem penjajahannya juga berbeda dengan sistem penjajahan yang kita kenal. Kerajaan jajahan tetap eksis, tetap dikelola oleh rajanya, tetapi pada saat tertentu raja-raja jajahan itu harus datang ke istana raja-besar untuk menyerahkan upeti (dalam wayang Jawa disebut asok bulu bekti, gelondong pangareng-areng) sebagai tanda mereka akan selalu berbakti. Jika negara pusatnya berperang, maka raja-raja jajahan ikut serta dalam peperangan.
Kadangkala suatu negara menjadi negara jajahan bukan karena ditaklukkan melalui peperangan. Bisa saja terjadi karena raja-raja kecil ini minta perlindungan dari ancaman negara besar lainnya. Atau suatu negara bergabung sebagai bagian dari negara lain karena kekerabatan, misalnya Pringgodani (Gatutkaca) adalah bagian dari Amarta (Pandawa)
Jadi meskipun letaknya tidak berdekatan, bisa saja suatu negara menjadi jajahan negara yang lebih kuat dan berkuasa, atau merger dengan negara lain.
Pengelolaan negara dalam pewayangan sehari-hari tampaknya dilakukan oleh seorang Patih (perdana menteri). Siapa saja bisa ditunjuk jadi patih oleh raja, baik itu kerabatnya, maupun bukan.
Dalam cerita Arjuna Sasrabahu, patihnya bernama Suwanda, orang yang tidak memiliki pertalian darah dengan rajanya. Pada saat Pandu menjadi raja Hastina, patihnya adalah Gandamana, juga orang luar keluarga Hastina
Tetapi banyak juga raja yang memanfaatkan kerabat untuk menjadi patihnya. Mereka ini bisa berasal dari adik, kakak, adik/kakak ipar, paman, dll. Umumnya satu raja punya satu patih, tetapi kadang kala lebih dari satu patih. Para Patih ini yang mengelola kerajaan, sehingga sag raja bebas bertandang kemana-mana. Makanya Karna, Salya, Baladewa sering nongkrong di Hastina, Kresna sering lunch dan dinner di Amarta.
[ catatan : Bahkan Batara Guru - rajanya para dewa, punya patih, yaitu Batara Narada ]
Hebatnya lagi, raja dari kerajaan besar seringkali perlu menunjukkan kebesarannya dengan memanfaatkan raja jajahan sebagai ‘pembantu’, misalnya Raja Hastina memiliki kusir seorang Adipati (raja juga) yang bernama Adirata dari Awangga.
Dalam kasus ini, Adirata dan anaknya (Suryatmaja) memiliki kasta yang lebih rendah dari kasta keluarga Hastina. Jadi Bhima tidak rela kalau adiknya (Arjuna) dibandingkan dengan Suryatmaja dalam hal kepandaian memanah. Arjuna adalah putra raja besar Pandu, sedang Suryatmaja orang dari kasta rendah : anak kusir.
Karena tahu bahwa Suryatmaja ini berpotensi untuk mengalahkan Arjuna, maka Pangeran Duryudana mengangkatnya jadi raja di Awangga yang kemudian bergelar Narpati Basukarna (Karna). Karena itu, kemudian Karna merasa berhutang budi kepada Duryudana. Sekalipun tahu bahwa Duryudana bersaudara (Kurawa) adalah pihak yang salah, dia rela mati untuk membela mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar