Minggu, 03 Juni 2012

kentongan

Kentongan

Kentongan
Kentongan dari Vanuatu, Kepulauan Pasifik.
Kentongan atau yang dalam bahasa lainnya disebut jidor adalah alat pemukul yang terbuat dari batang bambu atau batang kayu jati yang dipahat.
Kegunaan kentongan didefinisikan sebagai tanda alarm, sinyal komunikasi jarak jauh, morse, penanda adzan, maupun tanda bahaya.[1] Ukuran kentongan tersebut berkisar antara diameter 40cm dan tinggi 1,5M-2M. Kentongan sering diidentikkan dengan alat komunikasi zaman dahulu yang sering dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di daerah pedesaan dan pegunungan.[2]

Sejarah

Sejarah budaya kentongan sebenarnya dimulai sebenarnya berasal dari legenda Cheng Ho dari Cina yang mengadakan perjalanan dengan misi keagamaan. Dalam perjalanan tersebut, Cheng Ho menemukan kentongan ini sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Penemuan kentongan tersebut dibawa ke China, Korea, dan JepanKentongan sudah ditemukan sejak awal masehi. Setiap daerah tentunya memiliki sejarah penemuan yang berbeda dengan nilai sejarhnya yang tinggi. Di Nusa Tenggara Barat, kentongan ditemukan ketika Raja Anak Agung Gede Ngurah yang berkuasa sekitar abad XIX menggunakannya untuk mengumpulkan massa Di Yogyakarta ketika masa kerajaan Majapahit, kentongan Kyai Gorobangsa sering digunakan sebagai pengumpul warga.
Di Pengasih, kentongan ditemukan sebagai alat untuk menguji kejujuran calon pemimpin daerah Di masa sekarang ini, penggunaan kentongan lebih bervariatif.

Cara Memainkan

Kentongan merupakan alat komunikasi zaman dahulu yang dapat berbentuk tabung maupun berbentuk lingkaran dengan sebuah lubang yang sengaja dipahat di tengahnya Dari lubang tersebut, akan keluar bunyi-bunyian apabila dipukul. Kentongan tersebut biasa dilengkapi dengan sebuah tongkat pemukul yang sengaja digunakan untuk memukul bagian tengah kentongan tersebut untuk menghasilkan suatu suara yang khas. Kentongan tersebut dibunyikan dengan irama yang berbeda-beda untuk menunjukkan kegiatan atau peristiwa yang berbeda. Pendengar akan paham dengan sendirinya pesan yang disampaikan oleh kentongan tersebut.

Manfaat Kentongan

Awalnya, kentongan digunakan sebagai alat pendamping ronda untuk memberitahukan adanya pencuri atau bencana alam.Dalam masyarakat pedalaman, kentongan seringkali digunakan ketika suro-suro kecil atau sebagai pemanggil masyarakat untuk ke masjid bila jam salat telah tiba.Namun, kentongan yang dikenal sebagai teknologi tradisional ini telah mengalami transformasi fungsi.Dalam masyarakat modern, kentongan dijadikan sebagai salah satu alat yang efektif untuk mencegah demam berdarah Dengan kentongan, monitoring terhadap pemberantasan sarang nyamuk pun dilakukan. Dalam masyarakat tani, seringkali menggunakan kentongan sebagai alat untuk mengusir hewan yang merusak tanaman dan padi warga

Kelebihan

Kentongan dengan bahan pembuatan dan ukurannya yang khas dapat dijadikan barang koleksi peninggalan seni budaya masa lalu yang dapat dipelihara untuk meningkatkan pemasukan negara. Kentongan dengan bunyi yang khas dan permainan yang khas menjadi sumber penanada tertentu bagi masyarakat sekitar. Selain itu, kentongan merupakan peninggalan asli bangsa Indonesia dan memiliki nilai sejarah yang tinggi Perawatannya juga sederhana, tanpa memerlukan tindakan-tindakan khusus.

Kelemahan

Kentongan masih banyak kita temui dalam masyarakat modern, namun fungsi kentongan sebagai alat komunikasi tradisional memiliki sejumlah kekurangan yang menyebabkan tergesernya kentongan tersebut dengan teknologi modern. Kegunaan kentongan yang sederhana dan jangkauan suara yang sempit menyebabkan kentongan tidak menjadi alat komunikasi utama dalam dunia modern ini.

Era Globalisasi

Di era globalisasi sekarang ini alat komunikasi telah berkembang jauh melebihi batasan pemikiran sebagian besar manusia. Ketiadaan batasan ruang dan waktu membuat orang berlomba-lomba menciptakan beragam penemuan yang lebih praktis dan lebih luas jangkauannya.

kuda lumping, ebeg banyumas

EBEG.....banyumasan


Ebeg merupakan seni pertunjukan yang menggunakan tarian sebagai media eksprisinya. Penari dalam pertunjukannya membawakan gerak tari gagah dengan menunggang kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu yang lazim disebut dengan Ebeg. Iringan Ebeg adalah alat musik bendhe yang merupakan perangkat musik tradisional khas Banyumas yang khusus digunakan untuk mengiringi pertunjukan Ebeg. Para pemain atau penari menggambarkan prajurit berkuda di bawah pimpinan Prabu Klana dalam cerita Panji. Sebagai bentuk kesenian tradisional, Ebeg telah berkembang secara turun-temurun sebagai warisan nenek moyang yang masih lestari hingga saat sekarang.



Kehidupan masyarakat Banyumas saat ini memang telah mengikuti perkembangan jaman. Dari yang semula berlangsung dalam pola tradisional-agraris, kini berganti ke arah modern-teknologis. Sungguh pun demikian, ragam peninggalan masa lalu bukan berarti harus ditinggalkan. Khasanah kesenian lokal semacam ebeg, harus terus diuri-uri dan dijaga kelestariannya. Hal ini mengingat perubahan jaman yang menuju ke arah globalisasi, terbukti telah bermuara pada penyeragaman budaya yang cenderung menanggalkan nilai-nilai lokal. Apabila kondisi demikian terus berlanjut, maka setiap bangsa akan kehilangan jatidiri, kehilangan identitas. Ini tidak boleh terjadi, sebab penyeragaman budaya akan mengakibatkan sebuah bangsa teralienasi, terasing di negeri sendiri. Salah satu cara melakukan perlawanan adalah melalui usaha revitalisasi dan reaktualisasi ragam-ragam kebudayaan lokal yang kita miliki. Usaha demikian merupakan sebuah proses glocalisasi yang dapat dijadikan sebagai penyeimbang proses globalisasi tengah merambah ke seluruh penjuru dunia.
Ebeg merupakan seni pertunjukan yang menggunakan tarian sebagai media eksprisinya. Penari dalam pertunjukannya membawakan gerak tari gagah dengan menunggang kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu yang lazim disebut dengan Ebeg. Iringan Ebeg adalah alat musik bendhe yang merupakan perangkat musik tradisional khas Banyumas yang khusus digunakan untuk mengiringi pertunjukan Ebeg. Para pemain atau penari menggambarkan prajurit berkuda di bawah pimpinan Prabu Klana dalam cerita Panji. Sebagai bentuk kesenian tradisional, Ebeg telah berkembang secara turun-temurun sebagai warisan nenek moyang yang masih lestari hingga saat sekarang.



Kehidupan masyarakat Banyumas saat ini memang telah mengikuti perkembangan jaman. Dari yang semula berlangsung dalam pola tradisional-agraris, kini berganti ke arah modern-teknologis. Sungguh pun demikian, ragam peninggalan masa lalu bukan berarti harus ditinggalkan. Khasanah kesenian lokal semacam ebeg, harus terus diuri-uri dan dijaga kelestariannya. Hal ini mengingat perubahan jaman yang menuju ke arah globalisasi, terbukti telah bermuara pada penyeragaman budaya yang cenderung menanggalkan nilai-nilai lokal. Apabila kondisi demikian terus berlanjut, maka setiap bangsa akan kehilangan jatidiri, kehilangan identitas. Ini tidak boleh terjadi, sebab penyeragaman budaya akan mengakibatkan sebuah bangsa teralienasi, terasing di negeri sendiri. Salah satu cara melakukan perlawanan adalah melalui usaha revitalisasi dan reaktualisasi ragam-ragam kebudayaan lokal yang kita miliki. Usaha demikian merupakan sebuah proses glocalisasi yang dapat dijadikan sebagai penyeimbang proses globalisasi tengah merambah ke seluruh penjuru dunia.

budaya indonesia

Budaya Asli Indonesia



Indonesia memang patut berbangga bahwa batik sudah mendapat pengakuan Internasional dan berhasil diakui sebagai warisan budaya dari Indonesia. Indonesia tidak perlu lagi khawatir pencurian atau klaim dari negara Malingsia seperti beberapa budaya lain yang telah terlanjur diambil oleh maling.

Kini, Indonesia harus menjaga pula budaya-budaya yang lain terutama yang sudah pernah diklaim atau berusaha diklaim sebagai budaya negara tetangga yang tidak bertanggungjawab itu. Terutama Reog Ponorogo, tari Pendet, dan juga kesenian angklung.
Berikut ini adalah sebagian dari budaya Indonesia yang dicuri / diklaim pihak asing:
1. Batik dari Jawa oleh Adidas.
2. Naskah kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia.
3. Naskah kuno dari Sumatra Barat oleh Pemerintah Malaysia.
4. Naskah kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia.
5. Naskah kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia.
6. Rendang dari Sumatra Barat oleh oknum WN Malaysia.
7. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh oknum WN Belanda.
8. Sambal Petai dari Riau oleh oknum WN Belanda.
9. Sambal Nanas dari Riau oleh oknum WN Belanda.
10. Tempe dari Jawa oleh beberapa perusahaan asing.
11. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia.
12. Tri Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia.
13. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia.
14. Lagu Injit-Injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia.
15. Alat musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia.
16. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia.
17. Tari Piring dari Sumatra Barat oleh Pemerintah Malaysia.
18. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia.
19. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia.
20. Kursi Taman dengan ornamen ukir khas Jepara oleh oknum WN Prancis.
21. Pigura dengan ornamen ukirkhas Jepara oleh oknum WN Inggris.
22. Motif batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia.
23. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh oknum WN Amerika.
24. Produk Berbahan Rempah-Rempah dan Tanaman Obat asli Indonesia oleh Shiseido Co.Ltd.
25. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia.
26. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda.
27. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang.
28. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatra Barat oleh Pemerintah Malaysia.
29. Kain Ulos dari Batak oleh Pemerintah Malaysia.
30. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia.
31. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia.
32. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia.

Indonesia memang kaya dengan budaya yang berkualitas dan membuat “ngiler” negara yang masih kurang kreatif dan tidak mempunyai budaya nasional sendiri yang berkualitas. Menjaga berbagai kebudayaan ini adalah suatu tantangan yang berat bagi pemerintah Indonesia saat ini. Belum lagi pencurian pulau-pulau terluar Indonesia, kasus blok ambalat, pelecehan TKI/TKW, mengatasi bencana alam, korupsi, merosotnya norma dan akhlaq, dan lain sebagainya. Semua aspek itu adalah hal penting yang tidak boleh ditinggalkan salah satu, tapi harus diperhatikan semuanya secara konsisten dan berkesinambungan.

Kembali kepada permasalahan batik, semoga pemerintah tetap konsisten untuk mensosialisasikan batik kepada dunia bahwa ini adalah budaya asli Indonesia, dan di lain pihak juga menjaga agar generasi-generasi Indonesia selanjutnya tetap bisa membatik, dan bahkan paham sejarah batik. Jangan sampai hilang ditelan budaya global yang merusak. Generasi Indonesai harus tahu apa itu batik, reog, pendet, angklung, dan lain sebagainya. Wacana untuk membuat hari khusus berpakaian batik bagi pelajar dan PNS adalah sesuatu yang sangat bagus. Bahkan akan sangat baik apabila setiap daerah memakai batik corak khas daerah masing-masing. Batik Yogya berbeda corak dengan Surakarta, berbeda pula dengan Pekalongan. Batik pedalaman dan keraton berbeda dengan batik pesisiran, dan lain sebagainya. Sehingga semuanya bisa dimunculkan dan dikenal secara luas.

Namun, jangan sampai Indonesia terlena dan terfokus pada satu hal saja kemudian melupakan permasalahan lainnya sehingga kecolongan lagi. Jangan sampai sekedar ngurusin teroris, tapi budaya kecolongan klaim oleh negara lain, atau bahkan budaya Indoensia yang bermartabat kemudian tergerus oleh budaya asing yang merusak moral dan norma generasi muda.

Jangan pula Indonesia sekedar ngurusin gaji pegawai dan DPR, tapi kedaulatan negara dan wilayah Indonesia jatuh di mata dunia.