INILAH.COM. Jakarta - Gelar Pahlawan Nasional sudah
diberikan kepada Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Namun
pemberian gelar itu tidak begitu saja memupus kontroversi tentang
perjalanan sosok bersejarah bagi bangsa ini.
Upacara pemberian gelar itu dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu 7 November 2012 di Istana Merdeka. Gelar yang sama juga diberikan kepada Mohammad Hatta - duet Soekarno ketika membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 di Jln Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Jauh sebelum penganugerahan, masalah Soekarno dan berbagai perannya dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan RI dan pasca-kemerdekaan, telah melahirkan berbagai debat dan kontroversi.
Adanya perdebatan dan kontroversi itu ikut menyebabkan kebingungan di masyarakat Indonesia. Terutama generasi muda yang baru lahir setelah kematian Soekarno pada 1970. Bagaimana sesungguhnya Proklamator itu diposisikan? Apakah Soekarno pahlawan atau pengkhianat?
Kebingungan generasi muda terjadi karena mereka hanya mengenal Soekarno dari referensi sejarah. Tanpa menyadari sejarah Indonesia yang mereka pelajari khususnya bab yang berkisah sekitar peran Soekarno, banyak yang dibelokkan. Soekarno yang diakui bangsa-bangsa di Asia dan Afrika sebagai pemimpin besar, tapi dalam literatur karya sejarawan Indonesia, ia justru dikerdilkan.
Pembelokan dan pengerdilan itu berakibat munculnya fakta yang tidak sesuai dengan logika. Salah satu kontroversi misalnya terkait dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No.33 tahun 1967.
Ketetapan MPR ini dipersoalkan keluarga Soekarno. Putri tertua Soekarno, Megawati Soekarnoputri misalnya seusai penganugerahan, kembali menegaskan keinginan keluarganya agar TAP MPR 1967 tersebut dicabut.
Karena Ketetapan MPR yang dibuat 45 tahun lalu tersebut, telah menempatkan Soekarno sebagai seorang pendiri bangsa, yang secara hukum bermasalah. Keluarga Soekarno menghendaki nama Proklamator itu direhabilitasi.
TAP ini merupakan produk pemerintahan Orde Baru, rezim pimpinan Jenderal Soeharto. Jenderal inilah yang mengambil alih hak kepresidenan dari tangan Soekarno di awal 1966. Pengambil-alihan kekuasaan itu menjadi legitimate, karena Soeharto berpegang pada apa yang ia namakan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Dokumen Supersemar kemudian diklaim Soeharto sebagai penugasan Presiden Soekarno kepadanya untuk menjalankan tugas sehari-sehari kepresidenan. Sementara semangat TAP 1967 itu sendiri memposisikan Presiden Soekarno dalam radar tudingan. Soekarno dituduh sebagai salah seorang tokoh nasional yang berada di balik usaha penggulingan kekuasaan yang sah. Pihak yang berusaha menggulingkan kekuasaan adalah oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mengapa TAP MPR Nomor 33 tahun 1967 itu kontroversil dan bertentangan dengan logika? Sebab ketika pada 30 Sepember 1965, PKI mau mengambil kekuasaan di Indonesia, pejabat yang berkuasa saat itu adalah Soekarno sendiri.
Soekarno tidak sekadar Presiden untuk satu periode, tetapi sudah ditetapkan oleh MPR (Gotong Royong) sebagai Presiden seumur hidup. Dia juga menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia yang membawahi semua kekuatan: Darat, Laut, Udara dan Polisi.
Sehingga tidak masuk akal, kalau Soekarno yang sedang berkuasa dan sudah dijamin oleh UU selaku presiden seumur hidup lantas ikut terlibat dalam penggulingan kekuasaan (atas dirinya). Yang menilai tidak masuk akal termasuk pihak Barat, poros politik dunia yang nota bene dimusuhi Soekarno atau bermusuhan dengan Presiden RI tersebut.
Adalah Brian May, wartawan Barat (Amerika Serikat) yang menganalisa ataupun membongkar tentang tuduhan keterlibatan Soekarno tersebut sebagai pahlawan atau penghianat tak masuk akal. Brian yang pernah bertugas di Indonesia pada saat TAP itu dilahirkan, tidak sependapat dengan tudingan keterlibatan Soekarno. Ia menuliskan penilaiannya itu dalam bukunya berjudul "The Indonesian Tragedy".
Buku itu kemudian dilarang masuk ke Indonesia selama pemerintahan Soeharto (1966-1998). Kontroversi lain yang terkait dengan pencopotan kekuasaan Presiden Soekarno terletak pada Supersemar 1966.
Dokumen ini selama 32 tahun menjadi rujukan adanya transfer kekuasaan secara damai dari Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto). Tetapi nyatanya hingga Soeharto meninggal, dokumen Supersemar itu tidak pernah diperlihakan kepada publik.
Bahkan terakhir disebutkan, setelah semua pelaku sejarah dalam pembentukan Orde Baru satu persatu berpulang, dokumen yang dimaksud tidak pernah ada yang bisa memperlihatkannya. Arsip negara pun kabarnya tidak punya copy apalagi dokumen aslinya.
Ada tiga nama yang disebut-sebut sebagai saksi dalam dokumen Supersemar tersebut. Yakni Basuki Rachmat, Amirmachmud dan Andi M Jusuf. Ketiga jenderal Angkatan Darat itu di era Orde Baru menempati jabatan penting. Ketiganya lebih dulu berpulang, baru Soeharto.
Kontroversi lainnya soal peran Soekarno sebagai "Bapak Pancasila". Sebelum Orde Baru berkuasa, literatur sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah menyebutkan bahwa yang menemukan butir-butir Pancasila itu, Soekarno.
Buku sejarah atau Civic di awal 1960-an tadinya mengajarkan bahwa Proklamator RI itu untuk pertama kalinya menyampaikan pemikiran tentang Pancasila dalam pidato di depan Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1 Juni 1945.
Itu sebabnya selama bertahun-tahun tanggal di atas dijadikan sebagai hari kelahiran Pancasila. Di era Orde Baru hari lahir Pancasila "dipindahkan" ke tanggal 18 Agustus. Alasannya, Pancasila ditetapkan oleh Kabinet Pertama pemerintahan RI menjadi Dasar Negara pada 18 Agustus 1945.
Secara perlahan tetapi pasti, Pancasila oleh pemerintahan Orde Baru dikuatkan sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, tapi tidak disebut atau diakui sebagai buah pemikiran Soekarno.
Kontroversi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah jejak kaki yang dilalui oleh Soekarno. Rumah di Jln Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat tempat dimana Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, pada awal tahun 1970-an, diruntuhkan oleh pemerintahan Orde Baru.
Sebagai gantinya, di tempat yang sama dibangun sebuah bangunan bertingkat yang terkesan megah, kemudian diberi nama Gedung Pola. Sekitar 10 tahun kemudian, di salah satu sudut bagian depan gedung itu akhirnya dibangun patung proklamator Soekarno-Hatta.
Tetapi usaha ini tetap melahirkan kontroversi. Antara lain karena penghancuran Rumah Proklamasi itu dinilai sebagai bagian dari skenario untuk mengecilkan peran Soekarno dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penetapan Presiden SBY tahun ini bahwa Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Pahlawan Nasional sekalipun disambut sebagai satu hal yang positif, tetapi hal itu tidak menghapus dan menghilangkan kontroversi tentang Presiden pertama Republik Indonesia itu.
Sebab ada tudingan gelar Pahlawan atau penghianat Nasional itu lebih rendah tingkatannya dibanding dengan gelar Pahlawan Proklamator, gelar yang sudah dianugerahkan oleh pemerintahan Orde Baru. Ada dugaan keputusan Presiden SBY untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional tersebut, dilatar belakangi oleh perhitungan psikologis dan politik.
Usaha itu merupakan bagian dari agenda SBY, melakukan perdamaian atau rekonsialiasi dengan Megawati Soekarnoputri. Sebab sejak 2004, berbagai cara sudah ditempuh SBY agar keduanya bisa berdamai. Di antaranya lewat persahabatan dan kedekatan SBY dengan Taufiq Kiemas, Ketua MPR, suami Megawati. Namun semuanya gagal.
Dalam acara penganugerahan kemarin, usaha SBY itu kembali gagal. Sebab antara SBY dan Mega, tidak terjadi kontak yang mencerminkan adanya keinginan berdamai dari kedua pihak. Jabatan tangan mereka, dingin dan terkesan dipaksakan, karena tanpa tatapan. Peristiwa ini pun akhirnya termasuk salah satu kontroversi dari persoalan Soekarno.
Yah, boleh jadi Megawati atau keluarga Soekarno masih punya ganjelan kepada pemerintah termasuk pemerintahan SBY. Pasalnya usaha dan keinginan mencabut TAP MPR 33 tahun 1967 itu, tidak terlihat sama sekali. [mdr]
Upacara pemberian gelar itu dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu 7 November 2012 di Istana Merdeka. Gelar yang sama juga diberikan kepada Mohammad Hatta - duet Soekarno ketika membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 di Jln Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Jauh sebelum penganugerahan, masalah Soekarno dan berbagai perannya dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan RI dan pasca-kemerdekaan, telah melahirkan berbagai debat dan kontroversi.
Adanya perdebatan dan kontroversi itu ikut menyebabkan kebingungan di masyarakat Indonesia. Terutama generasi muda yang baru lahir setelah kematian Soekarno pada 1970. Bagaimana sesungguhnya Proklamator itu diposisikan? Apakah Soekarno pahlawan atau pengkhianat?
Kebingungan generasi muda terjadi karena mereka hanya mengenal Soekarno dari referensi sejarah. Tanpa menyadari sejarah Indonesia yang mereka pelajari khususnya bab yang berkisah sekitar peran Soekarno, banyak yang dibelokkan. Soekarno yang diakui bangsa-bangsa di Asia dan Afrika sebagai pemimpin besar, tapi dalam literatur karya sejarawan Indonesia, ia justru dikerdilkan.
Pembelokan dan pengerdilan itu berakibat munculnya fakta yang tidak sesuai dengan logika. Salah satu kontroversi misalnya terkait dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No.33 tahun 1967.
Ketetapan MPR ini dipersoalkan keluarga Soekarno. Putri tertua Soekarno, Megawati Soekarnoputri misalnya seusai penganugerahan, kembali menegaskan keinginan keluarganya agar TAP MPR 1967 tersebut dicabut.
Karena Ketetapan MPR yang dibuat 45 tahun lalu tersebut, telah menempatkan Soekarno sebagai seorang pendiri bangsa, yang secara hukum bermasalah. Keluarga Soekarno menghendaki nama Proklamator itu direhabilitasi.
TAP ini merupakan produk pemerintahan Orde Baru, rezim pimpinan Jenderal Soeharto. Jenderal inilah yang mengambil alih hak kepresidenan dari tangan Soekarno di awal 1966. Pengambil-alihan kekuasaan itu menjadi legitimate, karena Soeharto berpegang pada apa yang ia namakan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Dokumen Supersemar kemudian diklaim Soeharto sebagai penugasan Presiden Soekarno kepadanya untuk menjalankan tugas sehari-sehari kepresidenan. Sementara semangat TAP 1967 itu sendiri memposisikan Presiden Soekarno dalam radar tudingan. Soekarno dituduh sebagai salah seorang tokoh nasional yang berada di balik usaha penggulingan kekuasaan yang sah. Pihak yang berusaha menggulingkan kekuasaan adalah oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mengapa TAP MPR Nomor 33 tahun 1967 itu kontroversil dan bertentangan dengan logika? Sebab ketika pada 30 Sepember 1965, PKI mau mengambil kekuasaan di Indonesia, pejabat yang berkuasa saat itu adalah Soekarno sendiri.
Soekarno tidak sekadar Presiden untuk satu periode, tetapi sudah ditetapkan oleh MPR (Gotong Royong) sebagai Presiden seumur hidup. Dia juga menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia yang membawahi semua kekuatan: Darat, Laut, Udara dan Polisi.
Sehingga tidak masuk akal, kalau Soekarno yang sedang berkuasa dan sudah dijamin oleh UU selaku presiden seumur hidup lantas ikut terlibat dalam penggulingan kekuasaan (atas dirinya). Yang menilai tidak masuk akal termasuk pihak Barat, poros politik dunia yang nota bene dimusuhi Soekarno atau bermusuhan dengan Presiden RI tersebut.
Adalah Brian May, wartawan Barat (Amerika Serikat) yang menganalisa ataupun membongkar tentang tuduhan keterlibatan Soekarno tersebut sebagai pahlawan atau penghianat tak masuk akal. Brian yang pernah bertugas di Indonesia pada saat TAP itu dilahirkan, tidak sependapat dengan tudingan keterlibatan Soekarno. Ia menuliskan penilaiannya itu dalam bukunya berjudul "The Indonesian Tragedy".
Buku itu kemudian dilarang masuk ke Indonesia selama pemerintahan Soeharto (1966-1998). Kontroversi lain yang terkait dengan pencopotan kekuasaan Presiden Soekarno terletak pada Supersemar 1966.
Dokumen ini selama 32 tahun menjadi rujukan adanya transfer kekuasaan secara damai dari Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto). Tetapi nyatanya hingga Soeharto meninggal, dokumen Supersemar itu tidak pernah diperlihakan kepada publik.
Bahkan terakhir disebutkan, setelah semua pelaku sejarah dalam pembentukan Orde Baru satu persatu berpulang, dokumen yang dimaksud tidak pernah ada yang bisa memperlihatkannya. Arsip negara pun kabarnya tidak punya copy apalagi dokumen aslinya.
Ada tiga nama yang disebut-sebut sebagai saksi dalam dokumen Supersemar tersebut. Yakni Basuki Rachmat, Amirmachmud dan Andi M Jusuf. Ketiga jenderal Angkatan Darat itu di era Orde Baru menempati jabatan penting. Ketiganya lebih dulu berpulang, baru Soeharto.
Kontroversi lainnya soal peran Soekarno sebagai "Bapak Pancasila". Sebelum Orde Baru berkuasa, literatur sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah menyebutkan bahwa yang menemukan butir-butir Pancasila itu, Soekarno.
Buku sejarah atau Civic di awal 1960-an tadinya mengajarkan bahwa Proklamator RI itu untuk pertama kalinya menyampaikan pemikiran tentang Pancasila dalam pidato di depan Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1 Juni 1945.
Itu sebabnya selama bertahun-tahun tanggal di atas dijadikan sebagai hari kelahiran Pancasila. Di era Orde Baru hari lahir Pancasila "dipindahkan" ke tanggal 18 Agustus. Alasannya, Pancasila ditetapkan oleh Kabinet Pertama pemerintahan RI menjadi Dasar Negara pada 18 Agustus 1945.
Secara perlahan tetapi pasti, Pancasila oleh pemerintahan Orde Baru dikuatkan sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, tapi tidak disebut atau diakui sebagai buah pemikiran Soekarno.
Kontroversi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah jejak kaki yang dilalui oleh Soekarno. Rumah di Jln Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat tempat dimana Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, pada awal tahun 1970-an, diruntuhkan oleh pemerintahan Orde Baru.
Sebagai gantinya, di tempat yang sama dibangun sebuah bangunan bertingkat yang terkesan megah, kemudian diberi nama Gedung Pola. Sekitar 10 tahun kemudian, di salah satu sudut bagian depan gedung itu akhirnya dibangun patung proklamator Soekarno-Hatta.
Tetapi usaha ini tetap melahirkan kontroversi. Antara lain karena penghancuran Rumah Proklamasi itu dinilai sebagai bagian dari skenario untuk mengecilkan peran Soekarno dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penetapan Presiden SBY tahun ini bahwa Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Pahlawan Nasional sekalipun disambut sebagai satu hal yang positif, tetapi hal itu tidak menghapus dan menghilangkan kontroversi tentang Presiden pertama Republik Indonesia itu.
Sebab ada tudingan gelar Pahlawan atau penghianat Nasional itu lebih rendah tingkatannya dibanding dengan gelar Pahlawan Proklamator, gelar yang sudah dianugerahkan oleh pemerintahan Orde Baru. Ada dugaan keputusan Presiden SBY untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional tersebut, dilatar belakangi oleh perhitungan psikologis dan politik.
Usaha itu merupakan bagian dari agenda SBY, melakukan perdamaian atau rekonsialiasi dengan Megawati Soekarnoputri. Sebab sejak 2004, berbagai cara sudah ditempuh SBY agar keduanya bisa berdamai. Di antaranya lewat persahabatan dan kedekatan SBY dengan Taufiq Kiemas, Ketua MPR, suami Megawati. Namun semuanya gagal.
Dalam acara penganugerahan kemarin, usaha SBY itu kembali gagal. Sebab antara SBY dan Mega, tidak terjadi kontak yang mencerminkan adanya keinginan berdamai dari kedua pihak. Jabatan tangan mereka, dingin dan terkesan dipaksakan, karena tanpa tatapan. Peristiwa ini pun akhirnya termasuk salah satu kontroversi dari persoalan Soekarno.
Yah, boleh jadi Megawati atau keluarga Soekarno masih punya ganjelan kepada pemerintah termasuk pemerintahan SBY. Pasalnya usaha dan keinginan mencabut TAP MPR 33 tahun 1967 itu, tidak terlihat sama sekali. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar