Film Sejarah dan Asmara; Habibi dan Ainun
Inilah Film kisah asmara BJ Habibie dengan istrinya,
Ainun, diangkat dari buku karya mantan Presiden RI yang ke-tiga ini.
film yang sangat menakjubkan.
Adrie yang konon masih saudara dari Habibie ini, kudu
ekstra kerja keras merampungkan film tersebut sebelum hari ulang tahun
Ainun. Yakni, tanggal 11 Agustus 2012.
Saat ditemui di kawasan Mega Kuningan
Jakarta belum lama ini, Adrie mengungkapkan keinginannya untuk
menggarap film Habibie-Ainun, karena dilatar-belakangi oleh laku
kerasnya buku bertajuk Habibie dan Ainun di pasaran.
Kisah Sejarah Penulisan Buku Habibi Ainun
Buku itu ditulis sendiri oleh pria bernama lengkap
Bacharuddin Jusuf Habibie selepas sang istri meninggal dunia pada Mei
2010 lalu. Wanita bernama lengkap Hasri Ainun Habibie ini meninggal
di RS Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Grohadern, Munich sekitar
pukul 17.35 waktu Jerman atau sekitar pukul 22.50 WIB.
Buku ini menjadi menarik, karena mengisahkan tentang asmara habibi dan ainun, kita
kembali kepada sebuah ungkapan: ‘Hingga Maut Memisahkan’.Asmara habibi dan ainun Dan rasanya,
memang sebuah ungkapan yang pas buat pasangan Habibie-Ainun. Pasalnya,
dengan penuh kesetiaan, Habibie menunggu sang istri dalam suka dan duka,
bahkan hingga Ainun dipanggil Yang Maha Kuasa.
Buku Ainun Habibi dalam Tiga Bahasa (Arab, Jerman dan inggris)
Dari itulah, maka Habibie membuat buku perjalanan
kisah asmara mereka. Tanggapan pasar cukup bagus, bahkan buku tersebut
pun sudah diterjemahkan ke dalam tiga bahasa, dengan menggunakan tiga
penerjemah.
Yakni, Profesor Nabila Lubis untuk bahasa Arab,
Brigitte Burke untuk edisi bahasa Jerman, dan edisi bahasa Inggris oleh
Satrio widono. Dari itulah, Adrie langsung berinisiatif menggarap buku
tersebut ke dalam film layar lebar.
Menanggapi hal itu, salah seorang sineas senior Tanah
Air, Deddy Mizwar, Jumat (3/2), di kawasan Cikini Jakarta mengatakan,
kalau film-film yang mengangkat tentang tokoh Indonesia memang saat ini
jarang ada. Nah, dengan adanya penggarapan film Habibie dan Ainun ini
diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif untuk memperkaya film sejarah di Indonesia. Kenapa?
"Sebab, Habibie merupakan salah seorang tokoh yang masih disegani di Indonesia. Habibie juga banyak menghasilkan karya, salah satunya di bidang penerbangan. Hingga ke tingkat internasional, karyanya pun diakui," papar pemeran tokoh Nagabonar ini.
Di Balik Pembuatan Film Habibi Ainun
Film-film yang mengangkat tentang tokoh kepahlawanan
atau pun tokoh yang berprestasi hingga ke tingkat internasional itu,
lanjut Deddy, penting keberadaannya. Pasalnya, semua film itu sebenarnya
merupakan pencetak sejarah, yang kelak bisa terus dinikmati oleh
berbagai generasi.
Misalnya, film Cut Nyak Dien yang pernah diperankan
oleh aktris kawak di negeri ini, Christine Hakim. Kyai Haji Ahmad Dahlan
lewat film Sang Pencerah. Bahkan, film Sunan Kalijaga dan Nagabonar
yang pernah ia perankan sendiri.
Gunanya apa, Dedy menjelaskan, itu untuk menjaga
nasionalisme dari generasi ke generasi, bahwa di negeri ini punya banyak
orang hebat. Pun, akhirnya bangga menjadi orang Indonesia.
Meski pun mengangkat tentang kisah asmara
Habibie-Ainun, tapi nama besar Habibie-lah yang bisa memberikan
pelajaran berharga kepada semua generasi, bahwa cinta sejati itu
ternyata masih ada.
Perfilman di Indonesia sendiri, kata Deddy, saat ini
masih kategori mengalami pasang-surut. Ditambah, masih banyaknya masalah
festival film di negeri ini, yang seperti kita tahu masih banyak adu
pendapat, sehingga banyak jenis festival film di Indonesia. Sebut saja,
Festival Film Indonesia (FFI) dan Indonesian Movie Awards (IMA).
Beberapa sineas juga masih masuk dalam
pengkotak-kotakkan. Ada Masyarakat Film Indonesia (MFI), yang
diprakarsai oleh sineas gaek Mira Lesmana, Riri Riza, dan Nia Dinata.
Dalam kacamata MFI, film di Indonesia masih
‘dikuasai’ oleh kepentingan, bukan dihargai secara karya. Misalnya,
pemenang FFI diduga masih ada unsur kepentingan dari pihak rumah
produksi terkait. Siapa berani bayar, itu pemenangnya, sehingga MFI
lebih memilih mengikuti IMA, yang diprakarsai oleh salah satu televisi
berlambang rajawali itu.
Sementara bagi Deddy sendiri, ia lebih ingin bersifat
netral bersama sineas-sineas kawak lainnya, seperti Didi Petet dan
Niniek L Karim. Aktor sekaligus Sutradara sinetron Kiamat Sudah Dekat
ini ingin menjadi jembatan bagi perfilman nasional, sehingga semua bisa
berkarya dan masyarakat pun bisa diberikan suguhan tontanan film yang
berkualitas, bukan yang berbau esek-esek seperti beberapa tahun
belakangan ini.
Sedangkan sineas handal lainnya, Garin Nugroho, saat
ini sedang merampungkan sebuah film sejarah dan kepahlawan berjudul
Soegija, yang mulai diproduksi pada Nopember 2011 lalu.
Dengan mangambil lokasi di Gereja Gedangan Semarang,
film ini mengangkat ketokohan Uskup Mgr Soegijapranata pada era
perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1940-1949. Soegijapranata sendiri
merupakan tokoh Katolik pribumi Jawa yang pertama kali menjadi uskup
serta dikenal sebagai seorang pahlawan nasional.
Film ini telah direncanakan sekitar tiga tahun lalu
oleh Studio Audio Visual Puskat dan Garin sebagai sutradaranya. Film ini
menggandeng sejumlah artis dan seniman seperti Nirwan Dewanto, Butet
Kertaradjasa, dan Olga Lydia.
Kenapa Garin tertarik menggarap film berlatar
belakang sejarah ini? "Garin juga mengungkapkan, bahwa film ini menjadi
sangat penting, karena memberikan pesan yang mendalam tentang sebuah
kepemimpinan," ujar Garin saat dihubungi via ponsel pribadinya belum
lama ini.
Film ini sendiri, tambah Garin, tidak akan banyak
berbicara mengenai agama, melainkan lebih banyak tentang pesan universal
dan kemanusiaan. Dari film inilah, menurut Garin, bangsa Indonesia akan
belajar tentang kemanusiaaan dan multikulturalisme.
Demikian munculnya tentang film sejarah. Kisah Profesor Cinta; Habibie dan Ainun juga tak kalah pentingnya anda baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar