Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menilai khitan
perempuan sebagai diskriminasi terhadap reproduksi perempuan. "Anehnya
Kementerian Kesehatan sebagai institusi negara bisa disetir oleh MUI
(Majelis Ulama Indonesia) yang hanya organisasi massa," kata Komisioner
Bidang Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Ninik Rahayu,
kepada Tempo, Senin, 21 Januari 2013.
Majelis Ulama Indonesia dan sejumlah organisasi massa Islam menolak pelarangan khitan atau sunat pada perempuan. MUI meminta seluruh rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat harus melayani permintaan khitan perempuan. "Yang kami tolak itu pelarangan, jadi kalau ada permintaan khitan jangan ditolak," kata Ketua MUI KH Ma'ruf Amin di kantornya.
Pernyataan MUI dan organisasi Islam ini menanggapi beredarnya surat Direktur Bina Kesehatan Masyarakat tertanggal 20 April 2006 tentang larangan sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Akibatnya, hampir sebagian besar bayi perempuan tak lagi disunat. Menurut surat itu, sunat perempuan tak bermanfaat bagi kesehatan, justru merugikan dan menyakitkan.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menampik pihaknya melarang sunat perempuan seperti berita yang berkembang selama ini. Peraturan Menteri Kesehatan justru mengizinkan perempuan disunat, asalkan memenuhi syarat kesehatan.
Ninik mempertanyakan standar kesehatan yang diterapkan Kementerian bagi tenaga medis untuk menangani sunat perempuan. "Standar yang bagaimana? Tenaga medis kita tidak pernah dilatih untuk melakukan sunat perempuan," kata Ninik. Dia berkukuh di bidang agama, sunat perempuan hanya tradisi, bukan perintah agama. "Tidak ada hubungan antara kesalehan perempuan dengan dikhitan atau tidak," kata Ninik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar